Wednesday, September 5, 2018

Rahmat perbedaan


Saatku tiba di bandung, semuanya kok kaya beda. Semuanya beda, mulai dari kebiasaan masyarakat, rutinitas aktifitas, sampai ke beribadah juga beda. Kok beda ya, kenapa beda, kok begini, aduh aku tidak bisa menerimanya.

Tapi sesuai dengan kebiasaanku sebelum merantau, aku selalu diuji kesabaranku lewat kejadian apa saja. Buanyak banget ujian kesabaran yang datang. Akhirnya aku tidak langsung bertindak gegabah dengan semua kebiasaan yang beda disini (Bandung).

Menjalani kehidupan jauh dari orang tua rasanya kaya sedang perang melawan diri sendiri dan situasi kondisi yang ada. Aku mencoba menjalani semua ini dengan cara terpaksa. Aku terpakasa kuliah di bandung  karena bapak nyuruh aku kuliah di bandung.

Kuliah dengan jurusan yang tidak aku sukai membuatku tidak betah di kampus. Terlebih lagi mengikuti organisasi DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) kampus dengan semua perbedaan yang ada.

Yang paling tidak aku suka di DKM adalah lembaga dakwah kampus dengan menggunkan intelektual semata. Tidak berdasarkan kaidah-kaidah hukum yang sudah di ijtihadi oleh para jumhurul ‘ulama.

Karena aku sempat pesantren, jadi semua yang ada di kampus tidak bisa aku terima dengan ikhlas. Rasanya ingin pulang dan kembali mondok dan menghafal Al-Qur’an serta mempelajari kitab.

Tidak, aku tidak ikhlas, aku tidak mau sabar, males, menyalahkan, mengkritik, dan membanding-bandingkan. Mulailah berfikir macem-macem lagi... aduh pusing!

Tapi ada yang membuat aku bisa terus ‘mencoba’ bertahan disini, yaitu bapak. Saatku memasuki usia fase dewasa awal aku berfikir dan menyaring semua fikiran negatifku bahwa semua yang bapak lakukan hanya untuk anak pertamanya, yaitu aku.

Gila semuanya dikorbankan supaya aku sukses lalu menggantikanya sebelum ia pensiun. Termasuk menguliahkanku di bandung. Ia selalu sabar dengan masa laluku yang butek (baca; keruh).

Jalani, jalani terus, perlahan dan aku mencoba menerima semua perbedaan yang ada. Aku berfikir ini baru bandung masih jawa barat, gimana Indonesia yang sebegitu luasnya dan sebegitu banyak perbedaan yang ada tapi satu negara. Bhineka Tunggal Ika memang hidup.

Di kampus coba ikut organisasi, himpunan mahasiswa. Jalani, tapi kok kegiatanya jauh dari manfaat. Maksudnya ada sih manfaat, tapi kok kayaknya isinya kurang tepat terhadap akhlak dan adab sebagai manusia. Ini bahaya. Bahaya mahasiswa disuguhi kegiatan yang jauh dari akhlak dan adab. Oh tidak, aku benar-benar ingin pulang dan kembali mondok pesantren.

Sabar, aku yakin ini adalah cobaan. Hidup tidak akan lepas dari cobaan. Allah pasti mempunyai alasan dari cobaan yang diberikan kepadaku. Karena Allah maha pengatur skenario yang baik.

Di DKM, melihat teman-teman DKM ketika membaca Al-Qur-an, Qur’an nya di letakkan di bawah. Maksudnya di  letakkan di lantai, karpet masjid gitu kaya baca buku biasa. Ih inikan adab gitu, kok baca Al-Qur’an begitu. Aneh. Nggak biasa aku melihatnya. Aku tidak terima.

Lalu aku bertanya kepada senior DKM, mengapa baca Al-Qur’an kok kaya baca buku biasa? Katanya Al-Qur’an dan Mushaf itu berbeda. Kalo mushaf boleh membacanya sambil diletakkan dilantai atau dibawahlah. Bahkan tidak mempunyai wudhupun tidak apa-apa membacanya. Oke aku mengerti dan menerima.

Urusan sholatpun buanyak banget yang berbeda, tapi benar, aku benar-benar aneh melihat kebiasaan ini. Awalnya memang kaya nggak nerima gitu. Namun lambat laun aku mengerti, mengerti 4 madzhab. Dan keempat madzhab ini memang mengajarkan ibadah yang beda-beda sesuai hukum syari’at yang sah.

Oke, oke aku menerima. Sabar atuh nan. Ingat jangan gegabah, kamu tinggal jauh dari orang tua.


***

Aku tinggal di masjid salah satu komplek yang ‘rada’ elit. Fasilitas aku dapatkan seluruhnya gratis. Mulai dari air buat mandi, listrik dan air minun galonpun gratis. Aku tidak kelaparan, aku tidak kehausan, aku tidak bau badan karena susah mandi, dan aku hampir tidak lewatkan sholat jama’ah. Tinggal dimasjid sih soalnya hehe.

Sholat, ngaji dimasjid, tapi menemukan perbedaan lagi. Sama seperti ibadah dan membaca Al-Qru’annya, kebiasaannya beda persis kaya di DKM kampus. Tapi karena kau mengerti dan agak sedikit paham jadi ya biasalah aku bisa menerimanya walaupun belum sepenuhnya.

Di bandung terkenal dengan kajian. Kajian disini diisi oleh para ustad dan memberikan materi-materi keislaman. Aku nggak biasa. Biasanya aku belajar islam lewat kitab. Karangan siapa, hukumnya jelas. Dan yang pasti berasal dari Al-Qur’an dan hadits.
Aku nggak bisa nerima karena ilmu kesilaman ini ‘agak’ kurang mendasar dari hukum yang ada. 

Sehingga masih mentah. Ini bahya lagi bagi orang yang ambisius untuk mempelajari islam. Yang sangat dikhawatirkan adalah mereka yang ambisius ini akan menerima ilmu dan di sampaikan sesuai takaran pemikiran sesuka hati. Ya pasti ada literatur hukum-hukum yang disampaikan. Cuma ya masih kurang dalam. Sehingga bisa salah kaprah.

Bahayanya lagi disini sedang gencar-gencarnya dengan istilah “pemuda hijrah”. Oh no no no ini membuat aku benar-benar ingin angkat bicara. Tapi akupun tidak bisa seenaknya angkat bicara. Karena ilmu agamaku juga sangat minim.

Aku sadar. Tidak semuanya bisa sesuai keinginanku. Tidak semuanya sesuai dengan kebiasaanku. Aku sadar ini benar-benar yang namanya perbedaan. Rahmat perbedaan yang dikehendaki oleh Allah agar kita semua bisa menghargai apa yang menjadi pegangan diri masing-masing dan yang pasti sesuai ajarannya masing-masing.

Semuanya benar kok. Nggak ada yang salah. Ibadah jalan. Mengajipun jalan. Beramal sholehpun jalan. Yang benar-benar harus aku terima adalah memahami perbedaan untuk terus melanjutkan visi menuju jalan Allah yang di ridhoi dengan misi yang berbeda-beda. Kenapa sih kita harus nggak terima? Toh hidup kita juga tidak terancam, kan?

Coba bayangkan di daerah timur sana, sholat aja di awasin make senjata. Lah ini beda menjalankan ibadah aja protes. Jangan nan, kamu harus bisa jauh lebih bijaksana untuk menyikapi ini.


***

Oke, pesan yang dapat diambil adalah, gimana caranya kita menjalankan hidup dengan apa adanya. Bukan ada apanya. Kita harus terus sabar dan ikhlas. Serta terus berikhtiar untuk  menjalankan hidup sesuai dengan apa yang kita tuju untuk bisa bahagia dunia dan selamat akhirat.

Perbedaan bukan alasan kita untuk menyalahkan. Perbedaan bukan alasan untuk berkeluh kesah. Apalagi sampai mencoba menyalahkan hingga memberontak. Ini egois. Kadang kita harus benar-benar memahami apa yang orang lain rasakan seperti apa yang kita rasakan. Kita ingin dihargai tapi tak lupa orang lain juga ingin dihargai. Orang lainpun sama ingin disayang, kitapun tak lupa untuk menyanyangi.

Perbedaan indah sekali jika kita bisa menjalankan hidup tanpa adanya perdebatan yang buang waktu, perdebatan yang membuat kita saling pecah. Tidak! Kita sama-sama manusia. Kita harus bisa memanusiakan manusia secara manusiawi.

Sabar, ikhlas, sayang, cinta harus bisa ditanamkan di dalam hati kita. Yang penting adalah gimana caranya kita menempatkan diri kepada Allah SWT. Agar semua jalan hidup yang kita jalani bisa tertuju dengan jelas dan penuh dengan cahaya Allah. Allah maha petunjuk jalan yang benar.


No comments:

Post a Comment