Saatku tiba di bandung, semuanya
kok kaya beda. Semuanya beda, mulai dari kebiasaan masyarakat, rutinitas
aktifitas, sampai ke beribadah juga beda. Kok beda ya, kenapa beda, kok begini,
aduh aku tidak bisa menerimanya.
Tapi sesuai dengan kebiasaanku
sebelum merantau, aku selalu diuji kesabaranku lewat kejadian apa saja. Buanyak
banget ujian kesabaran yang datang. Akhirnya aku tidak langsung bertindak
gegabah dengan semua kebiasaan yang beda disini (Bandung).
Menjalani kehidupan jauh dari
orang tua rasanya kaya sedang perang melawan diri sendiri dan situasi kondisi
yang ada. Aku mencoba menjalani semua ini dengan cara terpaksa. Aku terpakasa
kuliah di bandung karena bapak nyuruh
aku kuliah di bandung.
Kuliah dengan jurusan yang tidak
aku sukai membuatku tidak betah di kampus. Terlebih lagi mengikuti organisasi
DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) kampus dengan semua perbedaan yang ada.
Yang paling tidak aku suka di DKM
adalah lembaga dakwah kampus dengan menggunkan intelektual semata. Tidak berdasarkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah di ijtihadi oleh para jumhurul ‘ulama.
Karena aku sempat pesantren, jadi
semua yang ada di kampus tidak bisa aku terima dengan ikhlas. Rasanya ingin
pulang dan kembali mondok dan menghafal Al-Qur’an serta mempelajari kitab.
Tidak, aku tidak ikhlas, aku
tidak mau sabar, males, menyalahkan, mengkritik, dan membanding-bandingkan. Mulailah
berfikir macem-macem lagi... aduh pusing!
Tapi ada yang membuat aku bisa
terus ‘mencoba’ bertahan disini, yaitu bapak. Saatku memasuki usia fase dewasa
awal aku berfikir dan menyaring semua fikiran negatifku bahwa semua yang bapak
lakukan hanya untuk anak pertamanya, yaitu aku.
Gila semuanya dikorbankan supaya
aku sukses lalu menggantikanya sebelum ia pensiun. Termasuk menguliahkanku di
bandung. Ia selalu sabar dengan masa laluku yang butek (baca; keruh).
Jalani, jalani terus, perlahan
dan aku mencoba menerima semua perbedaan yang ada. Aku berfikir ini baru
bandung masih jawa barat, gimana Indonesia yang sebegitu luasnya dan sebegitu
banyak perbedaan yang ada tapi satu negara. Bhineka Tunggal Ika memang hidup.
Di kampus coba ikut organisasi,
himpunan mahasiswa. Jalani, tapi kok kegiatanya jauh dari manfaat. Maksudnya ada
sih manfaat, tapi kok kayaknya isinya kurang tepat terhadap akhlak dan adab
sebagai manusia. Ini bahaya. Bahaya mahasiswa disuguhi kegiatan yang jauh dari
akhlak dan adab. Oh tidak, aku benar-benar ingin pulang dan kembali mondok
pesantren.
Sabar, aku yakin ini adalah
cobaan. Hidup tidak akan lepas dari cobaan. Allah pasti mempunyai alasan dari
cobaan yang diberikan kepadaku. Karena Allah maha pengatur skenario yang baik.
Di DKM, melihat teman-teman DKM
ketika membaca Al-Qur-an, Qur’an nya di letakkan di bawah. Maksudnya di letakkan di lantai, karpet masjid gitu kaya
baca buku biasa. Ih inikan adab gitu, kok baca Al-Qur’an begitu. Aneh. Nggak biasa aku melihatnya. Aku tidak
terima.
Lalu aku bertanya kepada senior
DKM, mengapa baca Al-Qur’an kok kaya baca buku biasa? Katanya Al-Qur’an dan
Mushaf itu berbeda. Kalo mushaf boleh membacanya sambil diletakkan dilantai
atau dibawahlah. Bahkan tidak mempunyai wudhupun tidak apa-apa membacanya. Oke aku
mengerti dan menerima.
Urusan sholatpun buanyak banget
yang berbeda, tapi benar, aku benar-benar aneh melihat kebiasaan ini. Awalnya memang
kaya nggak nerima gitu. Namun lambat
laun aku mengerti, mengerti 4 madzhab. Dan keempat madzhab ini memang
mengajarkan ibadah yang beda-beda sesuai hukum syari’at yang sah.
Oke, oke aku menerima. Sabar atuh
nan. Ingat jangan gegabah, kamu tinggal jauh dari orang tua.
***
Aku tinggal di masjid salah satu
komplek yang ‘rada’ elit. Fasilitas aku dapatkan seluruhnya gratis. Mulai dari
air buat mandi, listrik dan air minun galonpun gratis. Aku tidak kelaparan, aku
tidak kehausan, aku tidak bau badan karena susah mandi, dan aku hampir tidak
lewatkan sholat jama’ah. Tinggal dimasjid sih soalnya hehe.
Sholat, ngaji dimasjid, tapi
menemukan perbedaan lagi. Sama seperti ibadah dan membaca Al-Qru’annya, kebiasaannya beda persis kaya di DKM kampus. Tapi karena kau mengerti dan agak
sedikit paham jadi ya biasalah aku bisa menerimanya walaupun belum sepenuhnya.
Di bandung terkenal dengan
kajian. Kajian disini diisi oleh para ustad dan memberikan materi-materi
keislaman. Aku nggak biasa. Biasanya aku
belajar islam lewat kitab. Karangan siapa, hukumnya jelas. Dan yang pasti
berasal dari Al-Qur’an dan hadits.
Aku nggak bisa nerima karena ilmu kesilaman ini ‘agak’ kurang mendasar
dari hukum yang ada.
Sehingga masih mentah. Ini bahya lagi bagi orang yang
ambisius untuk mempelajari islam. Yang sangat dikhawatirkan adalah mereka yang
ambisius ini akan menerima ilmu dan di sampaikan sesuai takaran pemikiran
sesuka hati. Ya pasti ada literatur hukum-hukum yang disampaikan. Cuma ya masih
kurang dalam. Sehingga bisa salah kaprah.
Bahayanya lagi disini sedang
gencar-gencarnya dengan istilah “pemuda hijrah”. Oh no no no ini membuat aku
benar-benar ingin angkat bicara. Tapi akupun tidak bisa seenaknya angkat
bicara. Karena ilmu agamaku juga sangat minim.
Aku sadar. Tidak semuanya bisa
sesuai keinginanku. Tidak semuanya sesuai dengan kebiasaanku. Aku sadar ini
benar-benar yang namanya perbedaan. Rahmat perbedaan yang dikehendaki oleh
Allah agar kita semua bisa menghargai apa yang menjadi pegangan diri
masing-masing dan yang pasti sesuai ajarannya masing-masing.
Semuanya benar kok. Nggak ada yang salah. Ibadah jalan. Mengajipun
jalan. Beramal sholehpun jalan. Yang benar-benar harus aku terima adalah
memahami perbedaan untuk terus melanjutkan visi menuju jalan Allah yang di
ridhoi dengan misi yang berbeda-beda. Kenapa sih kita harus nggak terima? Toh hidup kita juga tidak terancam, kan?
Coba bayangkan di daerah timur
sana, sholat aja di awasin make senjata. Lah ini beda menjalankan ibadah aja
protes. Jangan nan, kamu harus bisa jauh lebih bijaksana untuk menyikapi ini.
***
Oke, pesan yang dapat diambil
adalah, gimana caranya kita menjalankan hidup dengan apa adanya. Bukan ada
apanya. Kita harus terus sabar dan ikhlas. Serta terus berikhtiar untuk menjalankan hidup sesuai dengan apa yang kita
tuju untuk bisa bahagia dunia dan selamat akhirat.
Perbedaan bukan alasan kita untuk
menyalahkan. Perbedaan bukan alasan untuk berkeluh kesah. Apalagi sampai
mencoba menyalahkan hingga memberontak. Ini egois. Kadang kita harus
benar-benar memahami apa yang orang lain rasakan seperti apa yang kita rasakan.
Kita ingin dihargai tapi tak lupa orang lain juga ingin dihargai. Orang lainpun
sama ingin disayang, kitapun tak lupa untuk menyanyangi.
Perbedaan indah sekali jika kita
bisa menjalankan hidup tanpa adanya perdebatan yang buang waktu, perdebatan
yang membuat kita saling pecah. Tidak! Kita sama-sama manusia. Kita harus bisa memanusiakan manusia secara manusiawi.
Sabar, ikhlas, sayang, cinta
harus bisa ditanamkan di dalam hati kita. Yang penting adalah gimana caranya
kita menempatkan diri kepada Allah SWT. Agar semua jalan hidup yang kita jalani
bisa tertuju dengan jelas dan penuh dengan cahaya Allah. Allah maha petunjuk
jalan yang benar.
No comments:
Post a Comment